Selasa, 30 November 2010

LASKAR MALEO PART 1








Dilingkungan kami tinggal, tepatnya dijalan maleo bintaro sektor 9, hubungan keakraban dan keguyuban sangat terasa diantara bapak bapak maupun ibu ibunya. Apalagi diantara sekelompok bapak2 yg aktif dalam olah raga badminton rutin. Salah satu wujud keakraban itu adalah kita melakukan tour bareng dengan sebutan "Laskar Maleo". Beberapa waktu yang lalu, kebetulan salah satu anggota kelompok dimutasi ke Semarang,yaitu pak Sulistianto atau  akrab dipanggil pak Anto, Beliau waktu itu mendapat job sbg kepala kantor inspeksi BRI Semarang. Maka disusunlah sebuah permufakatan untuk melakukan jorney ke Semarang. Tour dipandu langsung oleh beliau kedaerah tujuan wisata seputar Semarang. Sebut saja ; Lawang sewu, mesjid Agung, dan Candi sewu. Berikut beberapa dokumentasinya.

GEGURITANKU TUMRAP DINA PALIKRAMA


Mugi Gusti Allah tansah paring pituduh,


Marang lakuning kita sakloron,

Anggone napak dalaning bebrayan,

Anggula wentah, nggegulang kawruh tumraping putra lan putri kita.





Tan krasa lumakuning wektu,

Wus ndungkap 14 tahun lawase,

Anggen kita ngucap janji lan ikrar nyawiji,

Dadya bebukaning bale wisma,



Bungah lan susah minangka kembanganing palikrama,

Andadekake kuat lan teteging tekad,

Kanggo amemangun jejodohan iki,

Nganti tekan pepesthening Gusti ,





Puja lan puji,

Konjuk ngarsane kang murbeng dumadi,

Lumantar sih kanugrahan tanpa pepindan,

Kita sakaluwarga datan kurang ing samubarang,



Duh nini……………..,

Wus setya tuhu anggonira dadi sigaraning nyawa,

Amung Pangeran kang bakal angganti,

Kanthi kanugrahan sejatining swarga,



Lamat-lamat keprungu,

Gendhing Kebo giro lan Tembang asmarandana,

Minangka prasasti pawiwahan agung,

Anggon kita dadya ratu sedina,



“Gegarane wong akrami,

Dudu banda dudu rupa,

Amung ati pawitane,

Luput pisan kena pisan,

Yen gampang luwih gampang,

Yen angel angel kalangkung,

Tan kena tinumbas arta”





Yogyakarta, 23 Nopember 2010

MKI in Style



Selasa, 02 November 2010

SAATNYA KITA BERHEMAT

PENDAHULUAN
Sepanjang kwartal pertama tahun 2008 kita disodori oleh berita tentang tingginya harga minyak dunia yang berimbas pada, tidak saja revisi APBN yang premature dari biasanya, tetapi juga pada sentiment negative makro ekonomi pada umumnya serta pasar modal pada khususnya. APBN 2008 yang disusun dengan asumsi harga minyak 65 dollar per barell nya jelas tidak lagi “relevan” dengan kondisi riil harga minyak sebesar 118 dollar per-22 April 2008.
Respons pemerintah menyikapi kenaikan harga minyak dunia hanya dengan instrument “otak-atik” APBN sesungguhnya bukanlah langkah yang cerdas apalagi bijaksana. Pilihan itu (revisi APBN) memang suatu keharusan dari sisi penyelamatan APBN, ditinjau dari perspektif politik anggaran, yang akan berdampak pada keberlangsungan jalannya pemerintahan. Akan tetapi, pemerintah mestinya tetap melakukan upaya – upaya lain yg bersifat komprehensif , mencari, merumuskan dan memberikan solusi jangka panjang atas kondisi yang tidak menguntungkan tersebut. Urusan APBN bukan saja domain menteri keuangan yg bisa mengatur pengeluaran & belanja pemerintah melalui gerakan/tindakan penghematan bagi seluruh departemen . Atau domain menteri ESDM yang menyangkut lifting minyak kita. Akan tetapi APBN adalah domain pemerintah dan DPR at whole, yang berarti juga domain kita semua, seluruh komponen bangsa/Negara.
Tingginya harga minyak dunia yg tidak dapat kita control sesungguhnya merupakan “red light” sekaligus entry point bagi kita (bangsa Indonesia) semua akan kesadaran ‘pentingnya berhemat’ dalam menjalani seluruh aspek kehidupan ini.
Sudah menjadi rahasia umum kalau bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang hobby berbelanja (konsumtif). Konsumtivisme ………..itulah barangkali salah satu aspek yang harus kita cermati bersama
KONSUMSI & PERILAKU KESEHARIAN KITA
Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga. Itulah salah satu seloroh masyarakat kita yang menggambarkan keinginan sebagian besar ……….. Bisa kita cermati dengan mudah, bahwa produk-produk teknologi yang laris manis di pasar Indonesia adalah produk kategori hiburan atau sarana pendukung hiburan. Seperti handphone multimedia yang kebanyakan dimanfaatkan untuk fitur-fitur offlinenya. Atau, untuk fitur onlinenya, hanya digunakan untuk download ringtone dan variannya, serta untuk download game-game handphone. Sedangkan komputer digunakan untuk permainan, lagu-lagu MP3, atau sekedar nonton filem. Dan internet yang hanya dimanfaatkan untuk chatting dan browsing ke dunia fantasi. Hal yang sangat menggembirakan bila kita tidak gagap teknologi. Tetapi akan jadi menyedihkan bila hanya berhenti sampai disini, sebagai konsumen produk hiburan. Padahal, dengan alat-alat canggih tersebut, banyak fasilitas lain yang bisa kita manfaatkan, serta lebih banyak lagi informasi yang bisa kita peroleh. Seandainya Anda memanfaatkan handphone, komputer, atau internet tidak untuk poin-poin diatas, berarti sudah selangkah lebih maju.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modem, menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta dan kota – kota besar lainnya, salah satu pemicunya adalah makin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang tidak sejalan dengan pertambahan jalan raya. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tsb merupakan penyebab tingginya konsumsi BBM kita, yang sudah barang tentu menuntut eskalasi / pembengkakan nilai subsidi yang harus dibiayai oleh APBN.
GERAKAN HIDUP BERHEMAT
Sejatinya pemerintah telah mengambil langkah – langkah sebagai antisipasi pembengkakan anggaran tersebut selain dengan revisi APBN melalui perubahan asumsi – asumsi makro ekonomi juga dengan program penghematan (pemotongan) belanja pemerintah sebesar 15% melalui edaran menteri keuangan. Bahkan beleid penghematan ini sudah pernah dikeluarkan pemerintah dengan instruksi Presiden Nomor 10/2005 yang menyangkut perintah bagi instansi pemerintah untuk berhemat. Sayangnya, kebijakan – kebijakan yg diambil itu terkesan sporadic dan reaktif setiap tahunnya. Padahal , mestinya kebijakan/program yang menyangkut penghematan itu dapat ditingkatkan menjadi sebuah kebijakan yang bersifat komprehensif & massif melalui program “ gerakan hidup berhemat” diseluruh aspek kehidupan . Sudah barang tentu, kesemuanya itu harus dipelopori oleh segenap unsure pemerintah dari pusat sampai daerah serta lembaga – lembaga Negara lainnya.
Dalam teori manajemen dipelajari bahwa suatu kegiatan tidak akan berjalan efektif manakala tidak disertai dengan upaya pengawasan (Controlling). Sebaik dan sebagus apapun suatu program/kebijakan, akan berakibat sia – sia jika tidak melalui perencanaan dan pengawasan yang baik pula.Apatah lagi sebuah kebijakan yg bersifat reaktif dengan perencanaan yang ala kadarnya itu.
Sudah saatnya kita , sebagai bangsa , menyadari perlunya memanage seluruh potensi yang ada dengan kearifan dan kesadaran bahwa anugrah kekayaan alam yang kita miliki ini merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan saja bagi keberlangsungan masa depan generasi berikutnya tetapi juga kepada Sang Pencipta nantinya.
Tidak cukupkah buat kita bersama, fenomena alam (musibah) yang terjadi terus menerus mendera sebagai peringatan . Tanah longsor, banjir bandang,lupur lapindo dsb. Belum lagi fenomena social kemacetan lalu lintas dikota – kota besar, kelangkaan minyak tanah,dll. Kesemuanya itu, kalau kita renungi dan kita cari akar masalahnya , salah satunya adalah karena pola konsumsi kita yang kurang tepat (boros).
PENUTUP
Konsumsi merupakan bagian dari aktivitas keseharian kehidupan kita. Oleh karenanya adalah sangat tidak mungkin untuk dihindari. Bahkan dalam konteks perekonomian kita (Indonesia), tingkat konsumsi yang tinggi berperan besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi (60% PDB disumbangkan dari sector konsumsi ). Ini adalah kenyataan yang menunjukan tidak sehatnya perekonomian kita disatu sisi dan dan pola konsumtif masyarakatnya yang tinggi , kalau tidak mau disebut irrasional, disisi yang lain. Belum lagi kalau kita bicara komposisi penyebarannya. …………….
Saatnya kita berusaha untuk lebih bijak menyikapinya. Sudah barang tentu, dimulai dan dipelopori oleh para pejabat-pejabatnya, baik melalui keteladanan dalam perilaku berkonsumsinya maupun dalam beleid-beleid yang di keluarkannya.
Setidaknya, menurut sebuah literature Internasional ( Changing today’s consumption patterns—for tomorrow’s human development ), ada 4 syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan konsumsi yang baik dan bijak :
1. Shared
Merupakan konsumsi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok
2. Strenghtening
Konsumsi yang dilakukan berdampak pada pembangunan atau penguatan kapabilitas manusia
3. Socially responsible
Konsumsi yang dilakukan terkait dengan tanggung jawab social kemanusiaan kita
4. Sustainable
Konsumsi yang kita lakukan jangan sampai “menggadaikan” kebutuhan masa depan anak cucu kita
Akhirnya, kita diingatkan oleh nenek moyang kita untuk tidak melakukan perbuatan dan konsumsi yang dilakukan atas dasar “kegemaran” semata-mata.
Poma- poma wekas mami (Ingat-ingat pesan ku)
Anak putu aja lena ( Anak-cucu jangnlah terlena )
Aja ketungkul uripe ( Jangan sia-sia kan hidupmu )
Lan aja duwe kareman ( dan janganlah memiliki kegemaran/hobby yang berlebihan )
Marang pepaes ndonya ( terhadap gemerlapnya kehidupan dunia )
Siyang ndalu dipun emut ( ingatlah selalu siang dan malam )
Wong urip manggih antaka ( manusia hidup kelak akan mati )


Muhammad Kuwat Indriyanto
Yogyakarta, Medio Maret 2010

SUMPAH PEMUDA DAN SEMANGAT UNTUK TERUS BELAJAR

The new society – and it is already here – is a post capitalist society. It is a society where its basic economic resources is no longer capital, nor natural resources, nor labor. It is and will be knowledge (“Peter Drucker” Post Capitalist, 1993)

Tanggal 28 Oktober 2010 ini tepat 82 tahun sudah “Sumpah Pemuda” dikumandangkan. Sebuah momentum yang memiliki makna strategis bagi keberadaan bangsa Indonesia dan eksistensi Pemuda dalam gerak perjuangan bangsa. Deklarasi yang dimotori oleh para pemuda itu menjadi titik awal kebangkitan bangsa Indonesia hingga akhirnya berpuncak pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tulisan ini berangkat dari keinginan penulis untuk memnangkitkan kembali pada ingatan kita akan semangat dan sepak terjang pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa dikaitkan dengan kontekstualisasi semangat pemuda dalam perjuangan pada era kekinian, selaras dengan sinyalemen Peter Drucker diatas akan pentingnya pengetahuan sebagai kunci keberhasilan suatu bangsa.
Beliau mengatakan bahwa dewasa ini, bagi sebuah Negara / bangsa , sumber daya yang harus dimiliki dan dikuasai , untuk dapat berkompetisi dalam era borderless world (globalisasi) adalah pengetahuan (knowledge ) .Tentu bukan berarti bahwa factor endowment (sumberdaya lainnya) seperti kekayaan alam, kandungan minyak dan gas bumi dsb tidak penting. Itulah barangkali yang bisa menjawab pertanyaan kenapa kita, bangsa Indonesia , yang dikaruniai begitu banyak sumberdaya kekayaan alam , sampai hari ini belum mampu menunjukan jati diri kita sebagai bangsa yang maju, makmur, gemah ripah loh jinawi sebagaimana harapan pendiri bangsa ini.
Dus sekaligus menjawab mengapa Negara – Negara seperti Jepang, Singapura, Korea dsb , yang secara alamiah kurang memiliki factor – factor kekayaan alam , justru mampu menunjukan dirinya sebagai Negara maju. Jawabnya adalah karena mereka menguasai pengetahuan itu (tidak sekedar memiliki).
Berbicara tentang pengetahuan berarti kita berbicara pentingnya pendidikan dan system pendidikan. Karena pengetahuan (knowledge) dalam tingkatan tertentu adalah produk dari pendidikan melalui proses pembelajaran. Dan pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dalam arti luas , yang sejak lahir telah dimiliki oleh manusia sebagai karunia Allah Yang Maha Kuasa.
Kita tahu bahwa setiap manusia secara alamiah memiliki pengetahuan baik yang bersifat Tacit knowledge maupun eksplisit Knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki karena pengalaman dan bersifat ketrampilan. Sedangkan eksplisit knowledge adalah pengetahuan yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pengajaran formal.
Dalam terminology orang jawa pengetahuan berarti kawruh, ilmu , ataupun ngelmu. Ilmu dalam konteks ini lebih mengarah pada pengetahuan yang bersifat rasio. Sedangkan ngelmu lebih menitik beratkan pada aspek batiniah & spiritual. Dalam bahasa modernnya mungkin bisa disandingkan dengan istilah intelegent quotient (IQ) dan Spiritual Quotient (SQ)
Pentingnya pengetahuan ini bisa kita lihat dalam berbagai tinjauan baik yang bersifat teologis, ilmiah, maupun cultural.
Agama mengajarkan betapa pentingnya manusia memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan. Salah seorang pemikir kita , Dr. Soedjatmoko mengatakan “ Menurut pengetahuan dan pengalaman saya, manusia baru akan mencapai kesejahteraan apabila ia sudah mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan ajaran agama di dalam segala pemikiran dan tindakannya “
Budaya mengajarkan kepada kita betapa pentingnya pengetahuan dan menggugahnya menjadi kesadaran untuk senantiasa menuntut ilmu. Tentu kita masih ingat (khususnya orang Jawa ) nyanyian/ syair yang berjudul Ilir – ilir sebagai berikut;
……………………
Bocah angon penekno blimbing kuwi ( pemuda penuntut ilmu)
Lunyu – lunyu penekna ( kesulitan harus diatasi)
Kanggo Seba mengko sore ( menuju masa depan )
Mumpung padhang rembulane ( selagi nasib masih beruntung )
Mumpung jembar kalangane. ( selagi kesempatan masih terbuka )

Syair diatas mengandung filsafat tentang pentingnya ilmu pengetahuan dengan menggambarkan sosok pemuda ( yang di bahasakan dalam istilah “bocah angon/penggembala”) yang harus senantiasa menuntut ilmu meskipun banyak aral melintang & hambatan. Tersurat bahwa menuntut ilmu itu penting dalam rangka menuju masa depan yang lebih baik. Dan selagi nasib masih beruntung serta kesempatan masih terbuka kita harus mampu menangkap peluang itu
Hal yang dapat dipetik dari pentingnya pengetahuan ini adalah marilah kita menjadi manusia pembelajar, yang senantiasa mengasah otak kita untuk selalu belajar mengikuti peradaban yang begitu dinamis bergerak. Sudah barang tentu, yang tidak boleh kita abaikan adalah seberapa banyak/bisa pengetahuan yang kita miliki bisa bermanfaat bagi lingkungan kita. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya?
Bagi sesama warga Tegal , utamanya para generasi mudanya marilah kita berlomba – lomba mengasah pengetahuan kita, apapun disiplin ilmu kita. Momentum Sumpah Pemuda dapat kita jadikan pijakan bahwa Pemuda, dalam sejarahnya senantiasa berdiri paling muka dan menjadi pelopor dalam setiap even perjuangan bangsa ini. Berbagai persoalan bangsa yang masih mendera kita, memanggil para pemuda untuk bangkit dan kembali memberikan sumbangsihnya. Setidaknya dengan terus belajar dan belajar .Tentu saja dengan harapan akan memberi manfaat bukan saja buat kita sendiri tetapi juga buat lingkungan kita , baik lingkungan Tegal maupun untuk ( barangkali ) negeri kita. Marilah kita menjadi insan pembelajar untuk menjadikan warga Tegal menjadi masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) untuk mendukung sinyalemen Peter Drucker yang penulis kutip diawal tulisan ini.
Yogyakarta, Oktober 2010
(Artikel ini dimuat dalam rubrik wacana Radar Tegal,26 Oktober 2010)