Minggu, 23 Januari 2011

SAATNYA KEMBALI KE PANGKUAN LOCAL WISDOM : YITNO YUWONO LENO KENO

Potret buram kini mewarnai jagat keberbangsaan dan ketatanegaraan kita. Mengambil salah satu judul novel sastra angkatan Balai Pustaka karya Sutan Takdir Alisyahbana, “tak lepas di rundung malang”, barangkali bisa untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Cita – cita proklamasi untuk mewujudkan masyarakat adil makmur gemah ripah loh jinawi masih sangat jauh diejawantahkan. Demokrasi sebagai pilihan system ketatanegaraan dan kepemerintahan belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan justru dibanyak sisi memunculkan permasalahannya tersendiri. Pemilu legislative dan eksekutif yang kita laksanakan belum melahirkan output yang memuaskan. Apakah kita sudah betul-betul berdemokrasi dengan benar ? Atau Benarkah kita sudah berdemokrasi ? Pertanyaan ini kemudian mengemuka untuk mencari sebab musabab mengapa selama ini, demokrasi yang merupakan pilihan system ketatanegaraan untuk mewujudkan tujuan ideal sebuah Negara, belum menunjukan korelasi positifnya di Negara kita.


Beberapa waktu berselang, mendagri merilis berita bahwa hampir setiap minggu beliau menerima surat permohonan non aktif Gubernur/ Bupati/Walikota karena tersangkut kasus hukum. Umumnya kasus korupsi. Tercatat 17 Gubernur berstatus tersangka dari total 33 Gubernur. Tak kurang pula separo (155) Bupati/walikota tersangkut kasus yang sama. Fenomena inilah yang memunculkan ironi. Betapa tidak, Kepala Daerah yang merupakan produk pilkada selama era reformasi malah banyak yang menjadi tersangka kasus hukum.

Dilihat dari perspektif penegakan hukum, mungkin kita berbangga bahwa hukum sudah mulai mampu menerapkan prinsip equlity before the law dimana para pejabat yang dahulu terkesan untouchable dari jerat hukum sekarang menjadi pemandangan yang lumrah dan biasa menjadi tersangka dan terdakwa. Gubernur dan Deputi Gubernur BI, Menteri, Mantan Menteri, Anggota Dewan, Mantan Kapolri, Dirjen, Mantan Dirjen, dan yang terbanyak Bupati/Walikota dan mantannya sudah banyak yang menjadi pesakitan.

Namun, dari perspektif sosiologis dan moral, kondisi ini juga dirasakan sangat memprihatinkan. Bukankah mereka-mereka ini adalah pemimpin-pemimpin yang seharusnya menjadi contoh dan panutan masyarakat ?

Jaman memang sudah berubah. Tuntutan masyarakat yang disuarakan media menjadi lebih keras dan terbuka. Itulah tantangan yang memang harus disikapi secara arif oleh para pemangku kebijakan di negeri ini. Era keterbukaan informasi dan tuntutan reformasi telah banyak melahirkan Undang-Undang dan aturan hukum yang begitu ketat mengawasi kerja, kinerja, bahkan sikap dan perilaku pejabat public dalam menjalankan tugasnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas berbagai fenomena hukum dan demokrasi tetapi hanya mengingatkan kita semua pada pesan leluhur dan nenek moyang yang terlihat sepele namun memiliki kandungan filosofis yang tinggi.

Yitno Yuwono Leno Keno

Terinspirasi oleh kondisi karut marut tersebut, saya teringat pada sebuah kalimat sederhana dalam bahasa jawa. Kalimat ini bisa kita temukan di buku-buku pelajaran bahasa jawa di tingkat SD maupun buku – buku tentang filosofi dan budaya jawa. Ya………Yitno Yuwono Leno Keno, secara harfiah bisa diartikan “hati-hati selamat ceroboh kena”. Maksudnya adalah barang siapa yang hati – hati (yitno) akan selamat (yuwono) dan barang siapa yang ceroboh, tidak hati-hati, akan tersandung masalah. Ungkapan ini memiliki makna yang sangat mendalam dan dapat di tafsirkan secara lebih luas dalam konteks kekinian. Ini adalah petuah atau sesanti yang biasa diberikan para orang tua kepada anak-anaknya, atau oleh guru kepada murid-muridnya dalam mengarungi bahtera hidup dan kehidupan di dunia ini.

Menjadi pejabat public, menjadi Pegawai Negeri, menjadi pemimpin organisasi memang tidak mudah sekarang ini. Banyak aspek yang harus dipertanggungjawabkan. Ada undang-undang, ada peraturan pemerintah, ada peraturan menteri, ada pula kode etik dsb yang mengharuskan kita untuk selalu hati-hati (yitno) dalam bertindak dan bekerja. Bahkan, sekedar melanggar SOP (Standard Operating Procedure) pun kadang-kadang harus berujung pada masalah hukum. Singkatnya, mengabdi pada jabatan public sama artinya dengan bermain dihalaman terali besi penjara. Kalau tidak hati-hati, apalagi ceroboh dan membabi buta (leno) hotel prodeo telah menunggu dengan pintu sangat sangat terbuka.

Bagaimana dengan pegawai swasta, pengusaha dan profesi lainnya ? tentu saja setali tiga uang atau sebelas dua belas jika meminjam istilah anak muda sekarang. Dimanapun kita berkarya dan berkiprah kita harus senantiasa menjaga kehati-hatian. Bukankah sudah banyak kasus pula pengusaha yang terseret masalah hukum . Bahkan bagi profesi penasehat hukum sekalipun. Karena pada dasarnya setiap pilihan pekerjaan maupun perilaku apapun selalu melekat risiko dan konsekuensi. Kehati-hatianlah yang harus kita perhatikan dan utamakan. Akhirnya, Be Careful ! karena Yitno Yuwono Leno Keno.



Kuwat Indriyanto

Alumni SMA 1 Slawi 1990

Ketua Harian Paguyuban MASTEJO

(Masyarakat Tegal Jogjakarta)

Tidak ada komentar: