Senin, 21 Desember 2009

Bu Susi Guruku

Bruuk, bahuku menubruk seseorang. "Nab, Bu Susi!!" Bisik Tya dengan suara tertahan. Ups, semua orang juga tahu bahwa itu adalah guru paling killer di seantero indonesia. Berlebihan memang, tapi sifatnya patut diperhitungkan. Bu Susi menatapku dengan tajam. "Nabila Khairunnisa dari kelas 5B?" Tanyanya dengan nada tinggi. "Kau harus tinggal di kelas setelah pulang sekolah," Sambungnya sambil menoleh, dan berlalu. Punggungku terasa lemas. Aah.. Gila banget tuh guru! Mungkin lebih tepatnya sinting. Aku terus merutuk Bu Susi dalam hati. "Haha.. Lagi sial banget kamu!" Sindir Eko kepadaku. Aku menyibir. "Biar saja!" Seruku. Tapi dalam hati, aku tahu. Bukan karena aku lagi sial atau apalah. Tetapi semua ini karena Bu Susi. Ya, cuma karena dia! Bayangkan itu Bu Lilla, atau Bu Nur. Pastilah beliau akan tersenyum dan memaafkannya. Bu Susi itu guru pindahan. Awalnya, ia hanya menggantikan pelajaran kesenian selama Bu Lilla hamil, akan tetapi, kontraknya diperpanjang karena Bu Lilla hanya akan mengajar kelas 1, 2, dan 3 saja. Dari wajahnya yang kelihatan sangar, semua orang juga tahu, bakalan apes nasibnya jika melakukan sesuatu yang menurutnya 'tidak pantas'! Itu memang benar. Buktinya, Tya, tepatnya Salsabila Agristya, pernah mengalami hal yang memalukan, sekaligus menyebalkan dengan wanita tersebut. Waktu itu, ia baru saja menamatkan pelajaran olahraga. Karena waktu yang mepet antara pelajaran olahraga dengan waktu sholat dhuha, Tya berlari sekencang mungkin sampai toilet. Toilet sekolah kami memang sedikit. Mungkin sekolahnya yang pelit, hehe.. Atau mungkin karena toilet ruang ganti siswi yang telah diubah menjadi koperasi. Tidak hanya seorang dua orang yang mengantre di depan toilet. Kira-kira ada sekitar 11 orang. Untuk mempersingkat waktu, Tya berganti baju di toilet guru siswi. Tentunya setelah ia mendapat izin dari Pak Adzim, guru bagian piket hari itu. Saat hendak menarik risleting celana, terdengar ketukan pintu. Ketukan yang keras. "Wooy!! Siapa di dalam!?" Teriak suara tersebut. Suara nada tinggi angkuh yang khas, milik BU SUSI! Dengan keadaan setengah memakai jilbab, kaus kaki terbuka dan sepatu yang dijinjing, Tya keluar dari toilet guru siswi. Saat hendak mau merapikan jibabnya, tangannya ditarik oleh Bu Susi. Ah, apes deh guaa, katanya saat menceritakan hal itu padaku. "Salsabila Agristya dari kelas 5B?" Itu kebiasaan Bu Susi. Memastikan nama dan kelas. Dan entah kenapa nama dan kelas yang disebutkannya tak pernah salah. Paranormal, begitu pikirku. "Kamu, silakan dibaca tulisan apa yang terpampang di pintu toilet ini!" Perintah Bu Susi kepada Tya. "Toilet guru putri, Bu.." Jawab Tya dengan wajah memelas. Seluruh murid yang menyaksikan kejadian itu, memandang Tya prihatin. "Nah, matamu di pasang dimana? kau sudah tahu, cuma ada 2 toilet guru! Yang di barat toilet guru pria dan yang disini wanita!!!" Pekik Bu Susi. "Tapi, bu... Tadi saya sudah dapat izin dari Pak Adzim," Tya membela dirinya. Semua anak yang di sana ikut mengangguk. "Tak ada tapi-tapian!!!" Teriak Bu Susi. Setelah itu, ibu Tya dipanggil dan dibentak-bentak. Tentu saja Tya jadi kena getahnya. Padahal, kata Tya, ceritanya diberi bumbu 90%.. Hehhe.. Kalau menurut pendapatku sendiri, secara fisik Bu Susi sama sekali tak menarik. Bahkan lebih dari itu. Istilah langsungnya, sih: jelek. Apalagi sifatnya, suka membentak, tak peduli dengan murid, dan bermuka dua. Dari sisi pembelajaran juga, sepertinya ia sama sekali mengerti seni, dan cara menilainya. Aku dikenal sebagai murid terpintar di bidang seni (agak geer niih) pada saat Bu Lilla masih mengajarku tentunya. Pernah aku membuat gambar arsir dengan cat warna, yang sudah kutebali lagi dengan pastel serta goresan pensil, dan mendapat juara 1 lomba menggambar karenanya. Aku mengulangi gambar tersebut dan mengumpulkannya pada Bu Susi pada waktu kegiatan menggambar bebas. Tapi apa yang dilakukannya? Gambarku dinilai asal-asalan: dengan wajah sama sekali tak melihat gambarku, sedang menggunting kuku + gayanya yang tak sopan. Nilaiku hanya 65 saat itu! Saat kutanya, ia menjawab, "buku gambarnya kurang besar," Jaman manakah yang menilai seni dari buku gambarnya?? Ooww... Aku ingin menendang wajahnya saat itu juga. Tapi aku mengurungkan niatku. Ada satu ideku yang akan kulaksanakan. Ide yang sengaja kurancang untuk mencelakakan Bu Susi. Jika ditanya, siapa yang membenci Bu Susi, semua anak kelas 4,5, dan 6 pasti mengacungkan tangan. Mudah bagiku untuk menjebak dengan kerja sama tim yang besar. Ibuku termasuk pengurus komite di bagian Sie. Dana dan Usaha. Itu jajaran yang tepat bagi kami. Terlebih, Ayah Tya merupakan ketua komite. Jabatan ini akan memperlancar rencanaku. Bagiku, hal yang ruwet atau ribet adalah masalah. Langsung saja ke intinya: mengeluarkan Bu Susi dari sekolah. Caranya mudah. Tya mengadu kepada ayahnya, ayahnya ke bapak kepala sekolah, dan keluarlah Bu Susi dengan mulus. Cling... Tidak repot dan mudah. Satu lagi, memuaskan. Soal uang, ibuku pasti mau menanggung semuanya, jadi hal itu bukan masalah! Waktu pelaksanaan rencana sudah ditetapkan hari Jum'at. Hari dimana Bu Susi akan mengajar jam pertama. Dari awal, kami sengaja bertingkah gaduh di kelas. Bu Susi akhirnya menampar salah seorang dari kami yaitu Nabila Khairunnisa alias aku! Keterlaluan! Sebelumnya aku telah meminta Tya untuk memotret kejadian tersebut yang akan digunakan sebagai bukti. "Huh, rasakan kau Bu Susi!" Teriakku kepada Bu Susi. "Aku telah memotret kejadian tadi! Itu cukup menjadi bukti untuk keluarnya kau dari sekolah!" Pekikku. Tanpa tersadar, aku mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti,"Jelek, payah, nggak becus!" Tapi itu ungkapan hatiku. Menurutku ia pantas mengalami hal itu. Kejadian itu berlalu selang 2 hari. Sejak saat itu, Bu Susi bersikap baik dan tak pernah membentak-bentak. Bahkan kudengar ia beroperasi plastik untuk memperbaiki wajahnya yang kelihatan sangar. Kami tak pernah bertemu dengannya lagi karena namanya dihapus dari guru daftar pelajaran kelas kami. Aku tahu ia sudah berubah, dan aku menyukai perubahannya itu.. Tapi sayang, lusa ia sudah akan keluar dari sekolah. Tak ada yang mampu untuk membatalkannya. Kepala sekolah sudah menetapkan bahwa Bu Susi akan keluar dari sekolah, dan keputusan tersebut mutlak! Kami sungguh menyayangkan kepergian Bu Susi. Bagaimana tidak? Kami merasa bersalah atas perubahannya. Harusnya kami hanya meminta beliau untuk berubah! Hari demi hari telah berlalu... Bu Susi telah keluar dari sekolah. Tapi kudengar ada suatu berita tentangnya.. "Nab, Nabila Khairunnisa!" Panggil seseorang di belakangku. Saat itu aku memang sedang berjalan-jalan di Ambarukmo Plaza. Aku menoleh. Seorang wanita cantik. Tapi, itu kan suara Bu Susi! "Bu Susi?" Desisku tak percaya. "Ya, aku hanya ingin mengobrol denganmu," Kami duduk di sebuah cafe. Lalu Bu Susi mulai bicara, "Berkat kau, aku berubah. Dari awal mungkin aku bertingkah laku yang tidak baik. Dan aku ingin berterima kasih kepadamu.." Ucap Bu Susi. Aku mengangguk-angguk. "Aku memang dikeluarkan dari sekolah, tapi aku tak putus asa. Aku masuk ke Universitas Gadjah Mada dan mengajar di bagian MIPA. Karena ketekunanku dalam mengajar, aku diperbolehkan menjadi mahasiswa kembali untuk menambah gelar S3 ku. Aku telah lulus sekarang, dan aku telah menerbitkan sebuah buku sehingga gelarku ditambah," Jelas Bu Susi panjang lebar. Nada suaranya kini tidak lagi angkuh dan tinggi. Suaranya rendah dan lembut. Ini bukti dari perubahan Bu Susi. Aku tak bisa menjawab. Terasa kaku mulutku. Tapi, dia tersenyum. Senyuman bak bidadari itu takkan kulupa dalam memoriku. Bu Susi lalu pergi setelah menceritakan cerita tersebut. Tak lupa diberikannya nomor telpon dan alamat rumahnya. Hari ini, aku mendapat satu hikmah. Jika kita tidak menyukai seseorang, lebih baik kita berbicara sopan dan tidak mencelakainya. Setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tersentak. Ada apa ini? Tapi, setelahnya aku tersenyum, dan kemudian bangkit dari dudukku. Teacher is who second parents for our.... Yogyakarta, 12 November 2009ĸα​я‎îŋɑ ☺ ™ Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar: